Susilo Bambang Yudhoyono |
Oleh: Susilo Bambang
Yudhoyono
JAKARTA – Sudah lama saya
tidak bicara soal politik. Dari hari ke hari, kini saya lebih menggeluti dunia
seni dan olahraga. Sungguh pun demikian, sebagai warga negara tentulah saya
tidak kehilangan hak asasi untuk peduli dan menyampaikan pendapat. Materi yang
ingin saya sampaikan ini, tentu berangkat dari niat dan tujuan yang baik, serta
hendak saya sampaikan secara baik pula.
Saya mulai tertarik dengan isu penggantian
sistem pemilu, dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional
tertutup. Informasinya, Mahkamah Konstitusi (MK) akan segera memutus mana yang
hendak dipilih dan kemudian dijalankan di negeri ini. Sebelum yang lain, dari
sini saya sudah memiliki satu catatan.
Benarkah sebuah sistem pemilu diubah dan
diganti ketika proses Pemilu sudah dimulai, sesuai dengan agenda dan ‘time-line’
yang ditetapkan oleh KPU ? Tepatkah di tengah perjalanan yang telah
direncanakan dan dipersiapkan dengan baik itu, utamanya oleh partai-partai
politik peserta pemilu, tiba-tiba sebuah aturan yang sangat fundamental
dilakukan perubahan? Ini tentu dengan asumsi bahwa MK akan memutuskan sistem
proporsional tertutup yang mesti dianut dalam pemilu 2024 yang tengah berjalan
saat ini.
Apakah saat ini, ketika proses pemilu telah
berlangsung, ada sebuah kegentingan di negara kita, seperti situasi krisis
tahun 1998 dulu misalnya, sehingga sistem pemilu mesti diganti di tengah jalan.
Mengubah sebuah sistem tentu amat dimungkinkan. Namun, di masa ‘tenang’, bagus
jika dilakukan perembugan bersama, ketimbang mengambil jalan pintas melakukan
judical review ke MK.
Sangat mungkin sistem pemilu Indonesia bisa
kita sempurnakan, karena saya juga melihat sejumlah elemen yang perlu ditata
lebih baik. Namun, janganlah upaya penyempurnaannya hanya bergerak dari terbuka - tertutup
semata.
Dalam tatanan kehidupan bernegara yang baik
dan dalam sistem demokrasi yang sehat, ada semacam konvensi baik yang bersifat
tertulis maupun tidak. Apa yang saya maksud ?
Jika kita hendak melakukan perubahan yang
bersifat fundamental, misalnya konstitusi, bentuk negara serta sistem
pemerintahan dan sistem pemilu, pada hakikatnya rakyat perlu diajak bicara, perlu
dilibatkan. Ada yang menggunakan sistem referendum yang formal maupun jajak
pendapat yang tidak terlalu formal.
Menurut saya, lembaga-lembaga negara, baik
eksekutif, legislatif maupun yudikatif tidak boleh begitu saja menggunakan
kekuasaan (power) yang dimilikinya dan kemudian melakukan perubahan yang sangat
mendasar yang berkaitan dengan ‘hajat hidup rakyat secara keseluruhan. Menurut saya,
mengubah sistem pemilu itu bukan keputusan dan bukan pula kebijakan (policy)
biasa, yang lazim dilakukan dalam proses dan kegiatan manajemen nasional
(kebijakan pembangunan misalnya).
Bagaimanapun rakyat perlu diajak bicara. Kita
harus membuka diri dan mau mendengar pandangan pihak lain, utamanya rakyat.
Mengatakan ‘itu urusan saya dan saya yang punya kuasa’, untuk semua urusan,
tentu tidaklah bijak. Sama halnya dengan hukum politik ‘yang kuat dan besar
mesti menang, yang lemah dan kecil ya harus kalah’, tentu juga bukan pilihan
kita.
Hal demikian tidak sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila yang kita anut bersama. Consensus building yang sering diwujudkan
dalam musyawarah untuk mufakat, berdialog dan berembuk, take and give, itulah
nilai-nilai yang diwariskan oleh para pendiri republik dahulu.
Saya mempelajari secara mendalam, bagaimana
dengan cerdas dan arifnya, founding fathers kita Bung Karno, Bung Hatta, Yamin,
Supomo, Ki Bagus dan lain-lain, bersedia untuk berembuk dan saling mendengar
untuk merumuskan dasar-dasar negara baru (Republik Indonesia) yang dinilai
paling tepat.
Kembali ke pokok bahasan, rakyat memang
sangat perlu diberikan penjelasan yang gamblang tentang rencana penggantian
sistem pemilu itu. Apanya yang berbeda antara sistem terbuka dengan sistem
tertutup. Mereka harus tahu bahwa kalau yang digunakan adalah sistem
proporsional tertutup, mereka harus memilih parpol yang diinginkan.
Selanjutnya partai politik lah yang
hakikatnya menentukan kemudian siapa orang yang akan jadi wakil mereka.
Sementara, jika sistem proporsional terbuka yang dianut, rakyat bisa memilih
partainya, bisa memilih orang yang dipercayai bisa menjadi wakilnya, atau
keduanya ~ partai dan orangnya. Rakyat sungguh perlu diberikan penjelasan
tentang rencana penggantian sistem pemilu ini, karena dalam pemilihan umum
merekalah yang paling berdaulat. Inilah jiwa dan nafas dari sistem demokrasi.
Dalam artikel sangat singkat ini, saya memang
tidak hendak menyampaikan pikiran saya tentang mana yang paling tepat antara
sistem proporsional tertutup versus sistem proporsional terbuka. Meskipun saya
punya sejumlah pandangan dan pemikiran, namun bukan itu inti tulisan singkat
saya ini.
Saya hanya ingin mengingatkan bahwa perkara
besar yang tengah ditangani oleh MK ini adalah isu fundamental, hakikatnya
salah satu ‘fundamental consensus’ dalam perjalanan kita sebagai bangsa.
Apalagi, putusan MK bersifat final dan mengikat. Bagaimana jika putusan MK itu
keliru? Tentu bukan sejarah seperti itu yang diinginkan oleh MK, maupun
generasi bangsa saat ini.
Mungkin ada yang bicara, ‘tidak ada yang tidak
bisa diubah di negeri ini’. Konstitusi pun bisa saja diubah. Demikian juga
sistem pemilu. Pendapat demikian tidaklah salah, dan saya pun amat mengerti.
Saya hanya mengingatkan dengan cara
menyampaikan pertanyaan seperti ini. Kalau sebuah konstitusi, undang-undang dan
juga sistem pemilu hendak diubah; mengapa dan bagaimana semua itu diubah?
Bangsa yang maju dalam tatanan kehidupan yang baik, mesti mengedepankan
pentingnya "what, why, how". Dalam perjalanan ke depan, negeri ini
harus memiliki budaya untuk selalu mengedepankan "the power of
reason". Begitulah karakter bangsa yang maju dan rasional. Permasalahan
bangsa mesti dilihat secara utuh dan seraya tetap berorientasi ke depan, serta
untuk memenuhi aspirasi besar rakyatnya. Bukan pikiran dan tindakan musiman,
apalagi jika bertentangan dengan kehendak dan pikiran bersama kita sebagai
bangsa.