luka memar korban perdagangan orang warga Sui Pinyuh/foto : Bung Ranie |
MEMPAWAH NEWS – Belum lama ini, publik Kabupaten Mempawah dihebohkan dengan kasus human Trafficking dengan modus bekerja di luar negeri alias menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal di Malaysia. Empat orang terdiri dari satu perempuan dan tiga laki-laki menjadi korbannya. Mereka diperbudak, disiksa hingga diperas uang ratusan juta rupiah. Bagaimana awal mula mereka terjebak dalam jaringan perdagangan orang internasional ini ?
Mempawahnews.com menyambangi kediaman korban pasangan
suami istri (pasutri) warga Kelurahan Sungai Pinyuh berinisial DY (24) dan DL
(25), Sabtu (9/7) siang. Kebetulan satu korban lainnya SC (25) juga sedang
berada di kediaman pasutri dua anak itu.
“Selain kami bertiga, ada satu lagi teman berinisial
JL (26) warga Mempawah Hilir yang turut berangkat ke Malaysia. Kami satu
rombongan sebanyak empat orang,” terang DY memulai ceritanya.
DY menuturkan, kesulitan mendapatkan lapangan
pekerjaan di kampung halaman membuat dia dan rekan-rekannya berusaha mencari
lowongan pekerjaan ditempat lain. Mereka pun memantau postingan-postingan di
media sosial sembari berharap ada lowongan pekerjaan yang cocok.
“Kami mendapatkan informasi ada lowongan
kerja menjadi TKI di Malaysia. Informasi loker ini kami dapatkan dari postingan
facebook,” akunya.
Usut punya usut, DY berhasil mendapatkan
kontak seseorang berinisial G yang mengaku sebagai agen penyalur TKI tersebut. Mereka
pun memulai komunikasi melalui chatting.
“G menjanjikan kami bekerja di sebuah kedai
di Malaysia. Menurut G, kami akan mendapatkan upah sebesar Rp 1.600 ringgit per
bulan. Belum termasuk bonus 3 persen. Kemudian, mendapatkan fasilitas tempat
tinggal dan ditanggung makan,” bebernya.
DY beserta istri DL dan rekan-rekannya pun
tergiur dengan tawaran G. Singkat cerita, DY dan kawan-kawannya sepakat
memutuskan untuk berangkat menjadi TKI di Malaysia. Mereka pun terprovokasi
dengan kebohongan G, sosok perempuan yang belum pernah ditemuinya itu.
“Kami belum pernah bertemu dengan G. Komunikasi
hanya melalui telepon dan chatting saja. Yang kami ketahui, G ini seorang
perempuan,” urainya.
Setelah berembuk dan sepakat, DY bersama
istri DL, rekannya SC dan JL menegapkan langkah meninggalkan kampung halaman
dan mengadu nasib menjadi TKI di Malaysia. Mereka berangkat pada 14 Juni
sekitar pukul 02.00 dini hari menggunakan mobil sewaan.
“Kami masuk ke Malaysia melalui perbatasan
Aruk di Sambas. Dari sana, kami dijemput dan dibawa ke sebuah hotel di Kuching.
Saya lupa nama hotelnya,” tutur DY sembari mengingat-ngingat.
Tiba di lobi hotel, DY menghubungi G melalui seluler.
Tak lama, seseorang menjemput DY dan teman-temannya menggunakan sebuah mobil. Mereka
pun dibawa ke sebuah rumah penampungan. Lagi-lagi, DY tak mengetahui alamat
rumah penampungan tersebut.
“Yang saya ingat, di sekitar rumah penampungan
itu ada beberapa rumah lain tepatnya seperti perumahan pada umumnya. Nah,
dirumah itu ternyata sudah ada dua orang laki-laki mengaku warga Sambas,”
urainya.
Dirumah penampungan itu, DY bersama istri dan
kedua rekannya menempati ruangan istirahat di lantai atas. Sedangkan dua orang
warga Sambas tadi dilantai bawah. Di tempat penampungan itu mereka cukup lama kurang
lebih 10 hari sejak tanggal 14-24 Juni.
“Karena terlalu lama menunggu diberi pekerjaan,
salah satu warga Sambas itu kabur dari tempat penampungan. Mungkin sudah tidak
kuat menunggu terlalu lama,” terkanya.
Lalu, sambung DY masuk lagi dua orang pasangan
(laki dan perempuan) ke rumah penampungan tersebut. Kabarnya mereka berasal
dari Kota Pontianak. Total ada tujuh orang di rumah penampungan itu.
“Selama di rumah penampungan, kami disediakan
peralatan masak dan makanan. Kita masak sendiri, mereka menyediakan beras,
sayur dan lainnya,” imbuhnya.
Hingga tibalah giliran DY beserta istri dan
rekan-rekannya dijemput. Mereka dipindahkan dari rumah penampungan ke rumah
lainnya. Lingkungan rumah itu menurut DY sangat mencekam dan terkesan sengaja tertutup.
“Pada tanggal 25 Juni, kami dikeluarkan dari
rumah penampungan menuju ke rumah lainnya. Rumah itu dikelilingi pagar tinggi, kalau
diliat-liat mirip penjara,” katanya.(Tim
Liputan).