-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan


Warga Sui Pinyuh Korban Perdagangan Orang di Malaysia : Dari Penampungan ke Rumah Mirip Penjara (1)

13 Juli 2022 | 8:16 PM WIB | 0 Views Last Updated 2022-07-13T13:16:52Z
luka memar korban perdagangan orang warga Sui Pinyuh/foto : Bung Ranie

MEMPAWAH NEWS – Belum lama ini, publik Kabupaten Mempawah dihebohkan dengan kasus human Trafficking dengan modus bekerja di luar negeri alias menjadi Tenaga Kerja Indonesia  (TKI) ilegal di Malaysia. Empat orang terdiri dari satu perempuan dan tiga laki-laki menjadi korbannya. Mereka diperbudak, disiksa hingga diperas uang ratusan juta rupiah. Bagaimana awal mula mereka terjebak dalam jaringan perdagangan orang internasional ini ?

 

Mempawahnews.com menyambangi kediaman korban pasangan suami istri (pasutri) warga Kelurahan Sungai Pinyuh berinisial DY (24) dan DL (25), Sabtu (9/7) siang. Kebetulan satu korban lainnya SC (25) juga sedang berada di kediaman pasutri dua anak itu.

 

“Selain kami bertiga, ada satu lagi teman berinisial JL (26) warga Mempawah Hilir yang turut berangkat ke Malaysia. Kami satu rombongan sebanyak empat orang,” terang DY memulai ceritanya.

 

DY menuturkan, kesulitan mendapatkan lapangan pekerjaan di kampung halaman membuat dia dan rekan-rekannya berusaha mencari lowongan pekerjaan ditempat lain. Mereka pun memantau postingan-postingan di media sosial sembari berharap ada lowongan pekerjaan yang cocok.

 

“Kami mendapatkan informasi ada lowongan kerja menjadi TKI di Malaysia. Informasi loker ini kami dapatkan dari postingan facebook,” akunya.

 

Usut punya usut, DY berhasil mendapatkan kontak seseorang berinisial G yang mengaku sebagai agen penyalur TKI tersebut. Mereka pun memulai komunikasi melalui chatting.

 

“G menjanjikan kami bekerja di sebuah kedai di Malaysia. Menurut G, kami akan mendapatkan upah sebesar Rp 1.600 ringgit per bulan. Belum termasuk bonus 3 persen. Kemudian, mendapatkan fasilitas tempat tinggal dan ditanggung makan,” bebernya.

 

DY beserta istri DL dan rekan-rekannya pun tergiur dengan tawaran G. Singkat cerita, DY dan kawan-kawannya sepakat memutuskan untuk berangkat menjadi TKI di Malaysia. Mereka pun terprovokasi dengan kebohongan G, sosok perempuan yang belum pernah ditemuinya itu.

 

“Kami belum pernah bertemu dengan G. Komunikasi hanya melalui telepon dan chatting saja. Yang kami ketahui, G ini seorang perempuan,” urainya.

 

Setelah berembuk dan sepakat, DY bersama istri DL, rekannya SC dan JL menegapkan langkah meninggalkan kampung halaman dan mengadu nasib menjadi TKI di Malaysia. Mereka berangkat pada 14 Juni sekitar pukul 02.00 dini hari menggunakan mobil sewaan.

 

“Kami masuk ke Malaysia melalui perbatasan Aruk di Sambas. Dari sana, kami dijemput dan dibawa ke sebuah hotel di Kuching. Saya lupa nama hotelnya,” tutur DY sembari mengingat-ngingat.

 

Tiba di lobi hotel, DY menghubungi G melalui seluler. Tak lama, seseorang menjemput DY dan teman-temannya menggunakan sebuah mobil. Mereka pun dibawa ke sebuah rumah penampungan. Lagi-lagi, DY tak mengetahui alamat rumah penampungan tersebut.

 

“Yang saya ingat, di sekitar rumah penampungan itu ada beberapa rumah lain tepatnya seperti perumahan pada umumnya. Nah, dirumah itu ternyata sudah ada dua orang laki-laki mengaku warga Sambas,” urainya.

 

Dirumah penampungan itu, DY bersama istri dan kedua rekannya menempati ruangan istirahat di lantai atas. Sedangkan dua orang warga Sambas tadi dilantai bawah. Di tempat penampungan itu mereka cukup lama kurang lebih 10 hari sejak tanggal 14-24 Juni.

 

“Karena terlalu lama menunggu diberi pekerjaan, salah satu warga Sambas itu kabur dari tempat penampungan. Mungkin sudah tidak kuat menunggu terlalu lama,” terkanya.

 

Lalu, sambung DY masuk lagi dua orang pasangan (laki dan perempuan) ke rumah penampungan tersebut. Kabarnya mereka berasal dari Kota Pontianak. Total ada tujuh orang di rumah penampungan itu.

 

“Selama di rumah penampungan, kami disediakan peralatan masak dan makanan. Kita masak sendiri, mereka menyediakan beras, sayur dan lainnya,” imbuhnya.

 

Hingga tibalah giliran DY beserta istri dan rekan-rekannya dijemput. Mereka dipindahkan dari rumah penampungan ke rumah lainnya. Lingkungan rumah itu menurut DY sangat mencekam dan terkesan sengaja tertutup.

 

“Pada tanggal 25 Juni, kami dikeluarkan dari rumah penampungan menuju ke rumah lainnya. Rumah itu dikelilingi pagar tinggi, kalau diliat-liat mirip penjara,” katanya.(Tim Liputan).

 

×
Berita Terbaru Update