-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

I Fatimah Daeng Takontu Karaeng Campagaya, Pemimpin Pasukan Balira Kerajaan Gowa

22 Mei 2021 | 8:21 AM WIB | 0 Views Last Updated 2021-05-22T01:21:06Z
I Fatimah Daeng Takontu (sumber : Facebook)

MEMPAWAH NEWS – I Fatimah Daeng Takontu Karaeng Campagaya lahir dari pernikahan Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin dengan gadis bangsawan dari Sanrobone bernama I Daeng Takele. I Fatimah Daeng Takontu Karaeng Campagaya lahir pada pada 10 September 1659.

 

Sejak usia belia, I Fatimah diberi kepercayaan oleh ayahnya untuk memimpin pasukan srikandi Kerajaan Gowa bernama Balira. Pasukan Balira ini bersenjatakan balira yakni salah satu alat yang dipakai oleh orang-orang tua dulu untuk bertenun. Panjangnya sekitar 1,5 meter, mirip pedang, tapi tidak tajam, namun keistimewaan balira ini adalah mampu menembus ilmu kebal dari musuh. 

 

Menurut kepercayaan masyarakat Gowa, senjata balira memiliki kesaktian yang luar biasa. Senjata ini tidak melukai, hanya saja bilamana seseorang terkena pukulan balira, mereka tidak mendapat keselamatan dan akan terus menderita sakit seumur hidup. Itulah sebabnya, musuh yang tahu tentang senjata balira ini lebih takut berhadapan pasukan bersenjata balira dibanding dengan senjata tajam atau senjata api. 

 

I Fatimah membina kaum perempuan di Kerajaan Gowa untuk bangkit melakukan perlawanan terhadap penjajah. Kecintaan terhadap tanah air, sehingga rakyat Gowa bahu membahu mengusir penjajahan dari butta Gowa. Senjata yang paling ampuh bagi masyarakat Gowa adalah semangat “Abulo Sibatang” yang menjadi lambang persatuan bagi masyarakat Gowa.

 

Di antara pasukan yang dipimpin I Fatimah, terdapat banyak wanita yang dikenal sebagai Pasukan Bainea (pasukan wanita), yaitu semacam srikandi membantu perjuangan raja Gowa.

 

Setiap menghadapi pertempuran, pasukan balira ini juga selalu diikutkan. Mereka dikawal pasukan Tubarani yang didominasi kaum lelaki. Pasukan Balira ini, tak hanya bersenjatakan balira, namun juga dilengkapi dengan senjata tajam atau senjata api bila ada. Di pinggangnya terselip sebilah keris pusaka atau badik yang dapat digunakan pada pertempuran jarak dekat. 

 

Penolakan terhadap perjanjian Bungaya, menimbulkan gejolak di internal Kerajaan Gowa. Putra Sultan Hasanuddin, Manninrori Karaeng Galesong, bersama Karaeng Bontomarannu lalu berangkat ke Jawa untuk melanjutkan perjuangan mereka. Sedangkan Karaeng Karunrung disarankan tetap tinggal di Gowa, memimpin sisa-sisa laskar Gowa yang masih melanjutkan perlawanan.

 

Fatimah yang sejak awal mendengar semua kesepakatan itu, dengan penuh semangat meminta pada ayahnya, Sultan Hasanuddin untuk menyusul sang kakak ke Pulau Jawa, keinginan Fatimah ternyata belum mendapat persetujuan. Fatimah awalnya hanya menyaksikan rombongan yang dipimpin Karaeng Bontomarannu bersama 800 orang prajuritnya berangkat ke Banten.

 

Barulah pada gelombang ke 2, I Fatimah bisa ikut perjalanan ke Jawa, keberangkatan terjadi beberapa bulan setelah Sultan Hasanuddin wafat. I Fatimah bersama ratusan pasukan elit Kerajaan Gowa menuju ke Banten. 

 

Mereka membagi diri dalam beberapa regu dan berangkat secara bergelombang. Gelombang pertama tiba di pelabuhan Banten pada 19 agustus 1671, di bawah pimpinan Karaeng Bontomarannu dengan kekuatan 4 armada kapal  dan  800 orang prajurit.

 

Lalu disusul rombongan di bawah pimpinan Opu Cenning La Setiaraja Daeng Massuro, yang tiba di pelabuhan Banten pada 16 september 1671 dengan kekuatan 2 armada kapal dan 350 orang prajurit. Di dalam rombongan selanjutnya, di pimpin oleh I Manindori Karaeng Galesong tiba pada Oktober 1671, ikut didalam rombongan ini I Fatimah Daeng Takontu dan Daeng Mangalle. Total seluruh kekuatan dari Makassar yang  tiba di Banten adalah 70 buah kapal perang dan 20.000 prajurit.

 

Setelah semua pasukan Makassar berkumpul di Banten, diadakanlah pertemuan untuk menyusun strategi penyerangan. Syekh Yusuf, yang  hadir dalam pertemuan itu, mengusulkan agar karaeng Bontomarannu dan Karaeng Galesong bersama sebagian pasukannya bergerak ke Jawa Timur untuk bergabung dengan pasukan Trunojoyo dan Adipati Anom yang sedang berontak melawan pemimpin Mataram,  Amangkurat I.

 

Pemberontakan ini terjadi karena Amangkurat I dianggap terlalu keras dan  telah bekerjasama dengan VOC. Sementara  adik Karaeng Galesong, I Fatimah Daeng Takontu bersama Syekh Yusuf dan Daeng Mangalle yang saat itu telah memperistri  putri Sultan Banten, Angke Syafiah, akan tetap bertahan di Banten.

 

Di Banten, Pasukan Syekh Yusuf dan Pasukan I Fatimah ikut membantu raja Banten, Sultan Ageng Titrayasa, melawan putranya Abd. Nas’r Abd. Kahar Sultan Haji  yang berperang di pihak Belanda pada tahun 1672, Perlawanan pasukan Syekh Yusuf dan pasukan Bainea yang dipimpin Fatimah membuat kewalahan Belanda.

 

Kiprah I Fatimah bersama pasukan Balira tidak hanya di Banten, ia juga ikut membantu Kerajaan Mataram bersama kakaknya Karaeng Galesong. Sesuai pesan dari ayah mereka, Raja Gowa Sultan Hasanuddin, agar selalu menjaga adiknya. Sehingga dimana Karaeng Galesong melakukan serangan, di sana pula I Fatimah dan pasukan Baliranya. 

 

Baik pasukan Tubarani pimpinan Karaeng Galesong maupun pasukan Balira pimpinan I Fatimah, semuanya sudah dilengkapi dengan persenjataan dan ilmu beladiri. Mereka tidak hanya jago berkelahi di darat, juga di laut punya keberanian yang sama. 

 

Sementara di Mataram, dari tahun 1676 sampai 1679, terjadi pertempuran antara pasukan Amangkurat  yang mendapat bantuan Belanda, berhadapan dengan Trunojoyo bersama bantuan pasukan dari Makassar. Kemenangan demi kemenangan diraih pasukan Trunojoyo bersama pasukan dari Makassar. Mereka berhasil merebut kraton plered, ibukota Mataram, dan kemudian memindahkan ibukota kerajaan  ke Kediri.

 

Setelah Sultan Amangkurat I wafat,  dan di gantikan Sultan Amangkurat II. Mereka kembali mempersiapkan kekuatan. Dengan bantuan pasukan Belanda, mereka berhasil merebut  wilayah yang di kuasai Trunojoyo dan  mendudukkan kembali Sultan Amangkurat II sebagai Raja Mataram. Peperangan kemudian berakhir tahun 1679, setelah wafatnya Karaeng Galesong dan tertangkapnya Raden Trunojoyo oleh Belanda di Malang.

 

Pada tahun 1682, Sultan Ageng Tirtajasa berhasil di tangkap Belanda, I Fatimah dan suaminya Maulana bergerilya di hutan-hutan bersama stech Yusuf dan Daeng Mangalle,di lokasi persembunyian, Belanda melakukan serangan mendadak hingga pasukan I Fatimah kocar kacir dan menyebabkan suami istri I Fatimah dan Maulana terpisah.

 

I Fatimah berlayar  ke utara bersama Daeng Talibe Karaeng Malukessy, salah satu pasukan elit pimpinan Karaeng Galesong hingga ke Kerajaan Mempawah (bangkule Rajangnk) Kalimantan Barat, dan tinggal di Pulau Temajo. Sementara Daeng Mangalle bersama istri dan anaknya, Daeng Ruru, serta sisa pasukan yang masih hidup, melarikan diri ke Kerajaan Siam Thailand dan Syekh Yusuf bersama sisa pasukan yang ada, harus lari ke hutan sampai akhirnya tertangkap dan di buang ke Ceylon, Srilangka, dan  selanjutnya ke Cape Town Afika Selatan

 

I Fatimah pernah menikah dengan anak Sultan Banten yaitu Maulana Hasanuddin. Orang Gowa mengenal Maulana Hasanuddin dengan julukan Karaeng I Lau (Raja yang ada di negeri Barat-Banten) atau lebih dikenal dengan karaeng Lau. 

 

Menurut Pangeran Ratu Kesultanan mempawah, Dr Mardan Adijaya, perkawinan antara I Fatimah dan Maulana tidak membuahkan anak. Tetapi menurut sumber lontara dari negeri Belanda, perkawinan I Fatimah dan Maulana Hasanuddin membuahkan dua orang anak, yaitu Makkaraeng Karaeng Manjalling pada 26 Desember 1683 dan Siti Aisyah pada 6 Juni 1685. 

 

Di Mempawah, I Fatimah dan rombongannya diterima dengan baik oleh masyarakat dan di perlakukan dengan baik dan bijak oleh pihak kerajaan bahkan hingga zaman Opu Daeng Manambung ( 1725-1737-1761 M) mengangkat I Fatimah sebagai Panglima Perang, setelah lama bermukim di Mempawah, karna lama  dan tidak ada kabar dari suaminya, akhirnya I Fatimah memutuskan untuk bercerai dari Maulana Hasanudin, kemudian ia menikah dengan Daeng Talibe dan membuahkan seorang putri bernama Daeng Tipa. 

 

Selain itu, I Fatimah juga mengajarkan syiar Islam di negeri itu. Dari dakwah yang disampaikan kepada rakyat Mempawah akhirnya Raja membuat satu jabatan khusus mengurusi masalah dakwah Islam dengan nama “mufti” mirip dengan menteri agama di kerajaan lain, kalau di Gowa diberi nama Daengta Kaliya. 

 

I Fatimah wafat dan dimakamkan di Pulau Temajo, Kecamatan Sungai Kunyit, Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat. Pulau Temajo dengan keindahan alamnya kerap dijadikan tempat rekreasi raja pada zaman dulu. Sedangkan makam suaminya, Daeng Kalibe Karaeng Malukessy berada di Desa Sungai Bakau Kecil, Kecamatan Mempawah Timur.

 

 

 

 

 

 

Penulis : Sastra Jendra Hayuningrat

 

 

 

×
Berita Terbaru Update