![]() |
I Fatimah Daeng Takontu (sumber : Facebook) |
MEMPAWAH NEWS – I Fatimah Daeng Takontu Karaeng Campagaya lahir dari pernikahan Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin dengan gadis bangsawan dari Sanrobone bernama I Daeng Takele. I Fatimah Daeng Takontu Karaeng Campagaya lahir pada pada 10 September 1659.
Sejak usia belia, I
Fatimah diberi kepercayaan oleh ayahnya untuk memimpin pasukan srikandi Kerajaan
Gowa bernama Balira. Pasukan Balira ini bersenjatakan balira yakni salah satu
alat yang dipakai oleh orang-orang tua dulu untuk bertenun. Panjangnya sekitar
1,5 meter, mirip pedang, tapi tidak tajam, namun keistimewaan balira ini adalah
mampu menembus ilmu kebal dari musuh.
Menurut kepercayaan masyarakat
Gowa, senjata balira memiliki kesaktian yang luar biasa. Senjata ini tidak
melukai, hanya saja bilamana seseorang terkena pukulan balira, mereka tidak
mendapat keselamatan dan akan terus menderita sakit seumur hidup. Itulah
sebabnya, musuh yang tahu tentang senjata balira ini lebih takut berhadapan
pasukan bersenjata balira dibanding dengan senjata tajam atau senjata
api.
I Fatimah membina
kaum perempuan di Kerajaan Gowa untuk bangkit melakukan perlawanan terhadap
penjajah. Kecintaan terhadap tanah air, sehingga rakyat Gowa bahu membahu
mengusir penjajahan dari butta Gowa. Senjata yang paling ampuh bagi masyarakat
Gowa adalah semangat “Abulo Sibatang” yang menjadi lambang persatuan bagi
masyarakat Gowa.
Di antara pasukan
yang dipimpin I Fatimah, terdapat banyak wanita yang dikenal sebagai Pasukan
Bainea (pasukan wanita), yaitu semacam srikandi membantu perjuangan raja Gowa.
Setiap menghadapi
pertempuran, pasukan balira ini juga selalu diikutkan. Mereka dikawal pasukan
Tubarani yang didominasi kaum lelaki. Pasukan Balira ini, tak hanya
bersenjatakan balira, namun juga dilengkapi dengan senjata tajam atau senjata
api bila ada. Di pinggangnya terselip sebilah keris pusaka atau badik yang
dapat digunakan pada pertempuran jarak dekat.
Penolakan terhadap
perjanjian Bungaya, menimbulkan gejolak di internal Kerajaan Gowa. Putra Sultan
Hasanuddin, Manninrori Karaeng Galesong, bersama Karaeng Bontomarannu lalu
berangkat ke Jawa untuk melanjutkan perjuangan mereka. Sedangkan Karaeng
Karunrung disarankan tetap tinggal di Gowa, memimpin sisa-sisa laskar Gowa yang
masih melanjutkan perlawanan.
Fatimah yang sejak
awal mendengar semua kesepakatan itu, dengan penuh semangat meminta pada
ayahnya, Sultan Hasanuddin untuk menyusul sang kakak ke Pulau Jawa, keinginan
Fatimah ternyata belum mendapat persetujuan. Fatimah awalnya hanya menyaksikan
rombongan yang dipimpin Karaeng Bontomarannu bersama 800 orang prajuritnya
berangkat ke Banten.
Barulah pada gelombang
ke 2, I Fatimah bisa ikut perjalanan ke Jawa, keberangkatan terjadi beberapa
bulan setelah Sultan Hasanuddin wafat. I Fatimah bersama ratusan pasukan elit Kerajaan
Gowa menuju ke Banten.
Mereka membagi diri
dalam beberapa regu dan berangkat secara bergelombang. Gelombang pertama tiba di
pelabuhan Banten pada 19 agustus 1671, di bawah pimpinan Karaeng Bontomarannu
dengan kekuatan 4 armada kapal dan 800 orang prajurit.
Lalu disusul rombongan
di bawah pimpinan Opu Cenning La Setiaraja Daeng Massuro, yang tiba di
pelabuhan Banten pada 16 september 1671 dengan kekuatan 2 armada kapal dan 350
orang prajurit. Di dalam rombongan selanjutnya, di pimpin oleh I Manindori
Karaeng Galesong tiba pada Oktober 1671, ikut didalam rombongan ini I Fatimah
Daeng Takontu dan Daeng Mangalle. Total seluruh kekuatan dari Makassar
yang tiba di Banten adalah 70 buah kapal perang dan 20.000 prajurit.
Setelah semua pasukan
Makassar berkumpul di Banten, diadakanlah pertemuan untuk menyusun strategi
penyerangan. Syekh Yusuf, yang hadir dalam pertemuan itu, mengusulkan
agar karaeng Bontomarannu dan Karaeng Galesong bersama sebagian pasukannya bergerak
ke Jawa Timur untuk bergabung dengan pasukan Trunojoyo dan Adipati Anom yang
sedang berontak melawan pemimpin Mataram, Amangkurat I.
Pemberontakan ini
terjadi karena Amangkurat I dianggap terlalu keras dan telah bekerjasama
dengan VOC. Sementara adik Karaeng Galesong, I Fatimah Daeng Takontu
bersama Syekh Yusuf dan Daeng Mangalle yang saat itu telah memperistri
putri Sultan Banten, Angke Syafiah, akan tetap bertahan di Banten.
Di Banten, Pasukan
Syekh Yusuf dan Pasukan I Fatimah ikut membantu raja Banten, Sultan Ageng
Titrayasa, melawan putranya Abd. Nas’r Abd. Kahar Sultan Haji yang
berperang di pihak Belanda pada tahun 1672, Perlawanan pasukan Syekh Yusuf dan
pasukan Bainea yang dipimpin Fatimah membuat kewalahan Belanda.
Kiprah I Fatimah
bersama pasukan Balira tidak hanya di Banten, ia juga ikut membantu Kerajaan
Mataram bersama kakaknya Karaeng Galesong. Sesuai pesan dari ayah mereka, Raja
Gowa Sultan Hasanuddin, agar selalu menjaga adiknya. Sehingga dimana Karaeng
Galesong melakukan serangan, di sana pula I Fatimah dan pasukan
Baliranya.
Baik pasukan Tubarani
pimpinan Karaeng Galesong maupun pasukan Balira pimpinan I Fatimah, semuanya
sudah dilengkapi dengan persenjataan dan ilmu beladiri. Mereka tidak hanya jago
berkelahi di darat, juga di laut punya keberanian yang sama.
Sementara di Mataram,
dari tahun 1676 sampai 1679, terjadi pertempuran antara pasukan
Amangkurat yang mendapat bantuan Belanda, berhadapan dengan Trunojoyo
bersama bantuan pasukan dari Makassar. Kemenangan demi kemenangan diraih
pasukan Trunojoyo bersama pasukan dari Makassar. Mereka berhasil merebut kraton
plered, ibukota Mataram, dan kemudian memindahkan ibukota kerajaan ke
Kediri.
Setelah Sultan
Amangkurat I wafat, dan di gantikan Sultan Amangkurat II. Mereka kembali
mempersiapkan kekuatan. Dengan bantuan pasukan Belanda, mereka berhasil
merebut wilayah yang di kuasai Trunojoyo dan mendudukkan kembali
Sultan Amangkurat II sebagai Raja Mataram. Peperangan kemudian berakhir tahun
1679, setelah wafatnya Karaeng Galesong dan tertangkapnya Raden Trunojoyo oleh
Belanda di Malang.
Pada tahun 1682,
Sultan Ageng Tirtajasa berhasil di tangkap Belanda, I Fatimah dan suaminya
Maulana bergerilya di hutan-hutan bersama stech Yusuf dan Daeng Mangalle,di
lokasi persembunyian, Belanda melakukan serangan mendadak hingga pasukan I
Fatimah kocar kacir dan menyebabkan suami istri I Fatimah dan Maulana terpisah.
I Fatimah
berlayar ke utara bersama Daeng Talibe Karaeng Malukessy, salah satu
pasukan elit pimpinan Karaeng Galesong hingga ke Kerajaan Mempawah (bangkule
Rajangnk) Kalimantan Barat, dan tinggal di Pulau Temajo. Sementara Daeng
Mangalle bersama istri dan anaknya, Daeng Ruru, serta sisa pasukan yang masih
hidup, melarikan diri ke Kerajaan Siam Thailand dan Syekh Yusuf bersama sisa
pasukan yang ada, harus lari ke hutan sampai akhirnya tertangkap dan di buang
ke Ceylon, Srilangka, dan selanjutnya ke Cape Town Afika Selatan
I Fatimah pernah
menikah dengan anak Sultan Banten yaitu Maulana Hasanuddin. Orang Gowa mengenal
Maulana Hasanuddin dengan julukan Karaeng I Lau (Raja yang ada di negeri
Barat-Banten) atau lebih dikenal dengan karaeng Lau.
Menurut Pangeran Ratu
Kesultanan mempawah, Dr Mardan Adijaya, perkawinan antara I Fatimah dan Maulana
tidak membuahkan anak. Tetapi menurut sumber lontara dari negeri Belanda,
perkawinan I Fatimah dan Maulana Hasanuddin membuahkan dua orang anak, yaitu
Makkaraeng Karaeng Manjalling pada 26 Desember 1683 dan Siti Aisyah pada 6 Juni
1685.
Di Mempawah, I
Fatimah dan rombongannya diterima dengan baik oleh masyarakat dan di perlakukan
dengan baik dan bijak oleh pihak kerajaan bahkan hingga zaman Opu Daeng
Manambung ( 1725-1737-1761 M) mengangkat I Fatimah sebagai Panglima Perang,
setelah lama bermukim di Mempawah, karna lama dan tidak ada kabar dari
suaminya, akhirnya I Fatimah memutuskan untuk bercerai dari Maulana Hasanudin,
kemudian ia menikah dengan Daeng Talibe dan membuahkan seorang putri bernama
Daeng Tipa.
Selain itu, I Fatimah
juga mengajarkan syiar Islam di negeri itu. Dari dakwah yang disampaikan kepada
rakyat Mempawah akhirnya Raja membuat satu jabatan khusus mengurusi masalah
dakwah Islam dengan nama “mufti” mirip dengan menteri agama di kerajaan lain,
kalau di Gowa diberi nama Daengta Kaliya.
I Fatimah wafat dan dimakamkan
di Pulau Temajo, Kecamatan Sungai Kunyit, Kabupaten Mempawah, Provinsi
Kalimantan Barat. Pulau Temajo dengan keindahan alamnya kerap dijadikan tempat
rekreasi raja pada zaman dulu. Sedangkan makam suaminya, Daeng Kalibe Karaeng
Malukessy berada di Desa Sungai Bakau Kecil, Kecamatan Mempawah Timur.
Penulis : Sastra Jendra Hayuningrat